Connect with us

Danny Pomanto Buka Urban Leaders Training dan Workshop WHO untuk Makassar dan Wajo

Published

on

Kitasulsel–MAKASSAR,– Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto membuka secara resmi Urban Leaders Training dan Workshop WHO South East Asia Region (SEAR) untuk wilayah Kota Makassar dan Kabupaten Wajo.

“Dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim, Urban Leaders Training dan Workshop WHO ini saya nyatakan dimulai,” kata Danny Pomanto sapaan akrab Ramdhan Pomanto pada sela-sela acara, di Hotel Novotel, Selasa, (25/07/2023).

Danny Pomanto mengatakan Kota Makassar tentunya ingin menjadi pemimpin atau leader dalam promosi kesehatan yang secara langsung terkoneksi dengan WHO.

Apalagi, ia menilai, organisasi kesehatan dunia ini sudah memiliki format-format yang sudah sesuai tersandar internasional.

Ditambah lagi, lanjut dia, terobosan-terobosan Pemkot Makassar seperti Lorong Wisata (Longwis) juga merupakan bagian di dalamnya.

“Namanya lorong wisata tetapi di dalamnya ada kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, pemberdayaan, smart city dan lainnya. Terobosan lokal ini yang bisa kita share,” kata Danny Pomanto, siang tadi.

Program prioritasnya itu, sebut dia, sangat bermanfaat.

“Ternyata apa yang kita bikin kecil-kecil seperti Lorong wisata, sudah jadi terobosan berarti,” ucapnya.

Pun Longwis ini sudah bekerjasama dengan AS, Singapura dan beberapa negara lainnya.

Ditambah lagi sebelumnya, upaya penanggulangan terhadap Covid di Makassar mencapai keberhasilan dengan adanya detektor, tingkat vaksinasi dan imunitas tinggi.

Dari situ, kata kunci resilient tercipta.

Termasuk, penyakit mental health yang tengah didera dunia.

Dari kunjungannya ke Belgia pihaknya mendapati sekira 20 persen manusia di dunia mengalami gangguan kesehatan mental itu.

Olehnya, isu ini menjadi salah satu fokus Pemkot Makassar. Makanya kombinasi program workshop urban leaders dengan perkuatan keimanan umat misalnya mesti digalakkan.

Danny melanjutkan, kesehatan erat kaitannya dengan pendidikan karena tanpa pendidikan yang cukup kita tidak mengerti tentang kesehatan.

Contoh kecilnya mengenai cuci tangan yang benar. Juga menyangkut teknologi untuk diagnosa yang akurat, lalu soal pencegahannya.

“Kunci sehat ialah jangan sakit, artinya kita memiliki kemampuan pencegahan atas diri sendiri. Maka preventif itu sangat penting bagi kita,” jelasnya.

Dia mengharapkan kegiatan itu menjadi kemajuan bagi Kabupaten Wajo dan Kota Makassar.

Sementara itu, Penasehat Bidang Promosi Kesehatan dan Determinan Kesehatan WHO Kantor Regional Asia Tenggara Dr Suvajee Good mengaku berterimakasih kepada Pemkot Makassar dan Kabupaten Wajo karena berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Dia mengharapkan Makassar menjadi kota sehat dengan masa depan kota yang lebih baik.

“Kami berharap kedua kota ini menjadi kota sehat pada tahun ini,” harapnya.

Acara ini diikuti puluhan peserta dan menghadirkan pemateri dan akademisi yang profesional dan berkompeten.

Sebagaimana diketahui WHO bertugas mengatur dan mengkoordinasikan isu-isu kesehatan global yang mana WHO memastikan tercapainya kualitas kesehatan terbaik bagi seluruh umat manusia.

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Kementrian Agama RI

Menag Ingatkan Bahaya Nasionalisme Eksklusif, Bisa Lahirkan Segregasi

Published

on

Kirasulsel–JAKARTA Menteri Agama Nasaruddin Umar mengungkapkan bahaya nasionslisme eksklusif yang bisa melahirkan perpecahan. Sebaliknya nasionalisme inklusif menjadi fondasi utama dalam merawat keberagaman bangsa, terutama di tengah ketegangan geopolitik global yang kian kompleks.

Hal itu disampaikan Menag pada acara Dialog Nasional Ormas Islam dan OKP Islam bertema “Menjaga Harmoni dan Memperkuat Wawasan Kebangsaan” yang digelar Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama di Auditorium HM. Rasjidi, Kemenag RI, Jakarta, Rabu, (30/7/2025).

Nasionalisme yang terbuka, bukan eksklusif, menurut Menag, menjadi kekuatan khas Indonesia dalam menjaga harmoni antarumat beragama. “Nasionalisme yang eksklusif hanya akan melahirkan segregasi. Kita butuh nasionalisme inklusif yang mampu mengintegrasikan keberagaman tanpa menegasikan identitas agama, budaya, maupun etnis,” ujar Menag.

Ia menjelaskan, nasionalisme inklusif yang diusung Indonesia berbeda dengan nasionalisme berbasis etnis atau agama tertentu seperti yang berkembang di beberapa negara lain. Nasionalisme Indonesia berdiri di atas semangat Pancasila yang mengakomodasi seluruh elemen masyarakat tanpa diskriminasi.

“Islam bukan dari Indonesia, Hindu bukan dari Indonesia, Kristen pun bukan. Tapi semua bisa tumbuh dalam konteks kebudayaan Indonesia. Di sinilah pentingnya proses indonesianisasi ajaran, bukan arabisasi, bukan indiaisasi, bukan westernisasi,” tegasnya.

Menurutnya, tantangan geopolitik global saat ini justru menguji ketangguhan nilai-nilai kebangsaan. Ketika banyak negara mengalami fragmentasi identitas, Indonesia berhasil mempertahankan keutuhan berkat fondasi keberagaman yang dijaga melalui pendekatan inklusif dan moderat.

Ia mencontohkan bagaimana perempuan di Indonesia memiliki akses dan peran publik yang lebih luas dibanding negara-negara di kawasan Timur Tengah.

“Pasar-pasar tradisional kita, penjual dan pembelinya banyak perempuan. Masjid kita pun bisa diisi bersama. Ini tidak bisa dipaksakan dengan pendekatan tekstual yang kaku, tapi harus kontekstual,” katanya.

Dalam konteks keislaman, Imam Besar Masjid Istiqlal itu juga menekankan bahwa Indonesia dikenal dunia sebagai model Islam moderat yang damai, toleran, dan mampu berdialog dengan demokrasi. Ini menjadi kekuatan tersendiri di tengah meningkatnya ekstremisme global.

“Islam Indonesia bukan Islam pinggiran. Justru kita menjadi cahaya baru dari Timur yang berhasil mempertemukan iman, kebudayaan, dan kemanusiaan,” ujarnya.

Ia juga menyinggung pentingnya kesadaran geopolitik dan geostrategis dalam menjaga keberlangsungan negara. Menurutnya, geopolitik tidak boleh dilepaskan dari geodemografi dan geobudaya.

Indonesia memiliki keuntungan geografis dan pluralitas budaya yang harus dikelola dengan visi kebangsaan yang kuat.

“Negara kita adalah negara dengan UUD yang jarang diubah. Ini menunjukkan kestabilan. Tapi di sisi lain, kita harus terus memperkuat nilai-nilai bersama agar tidak mudah terpecah,” katanya.

Nasionalisme inklusif, lanjutnya, bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab umat. Agama harus menjadi energi positif untuk merawat persatuan, bukan alat politik identitas yang memecah belah.

Kementerian Agama, kata Menag, berkomitmen untuk terus mendorong penguatan moderasi beragama sebagai agenda nasional.

Hal ini dilakukan melalui berbagai program kolaboratif dengan ormas, lembaga pendidikan, dan komunitas lintas iman. Dialog ormas Islam ini, tambahnya, menjadi ruang strategis untuk mempertemukan gagasan dan membangun sinergi antar-elemen umat Islam dalam merespons dinamika kebangsaan.

“Tema dan kegiatan ini sangat bagus, serta menjadi momen kita duduk bersama, bersinergi dan berkolaborasi. Ormas Islam adalah mitra strategis Kemenag, tidak hanya menjadi penjaga moral, tapi juga pelopor solusi,” tandasnya.

Kegiatan itu turut dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan yang diwakili oleh Asisten Deputi Kesatuan Bangsa Cecep Agus Supriyanta, Wakil Menteri Agama Romo H. R Syafi’i, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi, Guru Besar UIN Jakarta Gun Gun Heryanto, Staf Khusus Menteri Agama Faried F Saenong, serta Direktur Penerangan Agama Islam Ahmad Zayadi dan Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Arsad Hidayat. (*)

Continue Reading

Trending

Copyright © 2024 Kitasulsel